Sunday, December 19, 2010

KOMPOS DALAM SISTEM PEMUPUKAN PADI SAWAH

,
khir-akhir ini seolah-olah telah terjadi dikotomi antara pertanian menggunakan input organik (“pertanian organik”) dengan pertanian input anorganik. Lantas apa sebutannya, kalau pertanian menggunakan kombinasi input organik dan anorganik, yang sudah semestinya memang harus demikian? Nampaknya telah terjadi kerancuan-pikir di antara masyarakat pertanian tentang pertanian dengan input (sarana) anorganik dan input organik.

Sebagian orang lantas menterjemahkan bahwa “pertanian input organik lebih benar”, dan “pertanian input anorganik salah atau kurang tepat”. Walaupun tidak pernah ada pernyataan seperti itu, tetapi secara implisit/tersirat kira-kira begitulah maknanya.

Kalau kita mau mengingat kembali pertanian Indonesia pada jaman dahulu, sebelum tahun 1970, maka faktanya sebagian besar sistem produksi bahan pangan kita menggunakan input organik, dan hal itu justru menjadi penyebab terjadinya kekurangan pangan, terutama beras, secara kronis pada masa itu.

Sebagian masyarakat yang kini berumur enam puluh tahun atau lebih, pasti ingat betapa sulit dan mahalnya beras pada era pertanian input organik. Barulah sejak tahun 1970, setelah pertanian dengan teknologi revolusi hijau diadopsi petani, masyarakat merasa bebas dari kekhawatiran akan kekurangan beras, karena ketersediaan beras di pasar melimpah dan harganya menjadi murah.

Dalam sistem budidaya tanaman, termasuk budidaya padi sawah, kita ketahui bahan organik memiliki multi-manfaat. Menurut S.L Tisdale (1993), penulis buku “Soil Fertility and Fertilizer” yang bukunya dipakai sebagai buku wajib bagi mahasiswa jurusan Ilmu Tanah di Amerika Serikat (dan juga di Indonesia), minimal terdapat delapan fungsi utama bahan organik dalam tanah yaitu: (1) sebagai penyedia dan cadangan hara N, P, K, S dan hara mikro bagi tanaman; (2) menaikkan nilai tukar kation (KTK);

(3) menyediakan makanan bagi mikroba tanah; (4) meningkatkan kapasitas menyimpan air tanah; (5) memperbaiki struktur tanah; (6) meningkatkan daya ikat agregasi tanah; (7) mencegah dampak pemampatan/pemadatan tanah; (8) sebagai penyangga (buffer) terhadap perubahan reaksi asam, alkalin atau salinitas. Multifungsi tersebut bersifat interaktif, yang berdampak positif terhadap kesuburan secara fisik, biologis dan kimiawi tanah pertanian.

Sayangnya tanah pada lahan pertanian Indonesia sebagian besar miskin bahan organik. Menurut Balai Besar Penelitian Sumberdaya Lahan Pertanian Bogor (2008), 73% lahan pertanian Indonesia kandungan bahan organiknya rendah (antara 0,6-2%), 23% sedang (bahan organik tanah 2-3%); dan hanya 4% dari seluruh luasan lahan yang tergolong memiliki bahan organik tinggi (lebih 4%). Kondisi ini sangat tidak menguntungkan bagi tanah pertanian di wilayah tropika yang diterpa curah hujan tingg

ARTIKEL EKONOMI

THL TBPP KERINCI

Visit Kerinci

 

BP3K KECAMATAN DEPATI VII Copyright © 2011 | Template design by O Pregador | Powered by Blogger Templates